Ketika mendengar Kata Sindoro-Sumbing
rasanya sangat tidak asing dengan dongeng dongeng yang sering kita dengar
tentang mereka.
Kali ini kita memutuskan untuk
bertolak ke Gunung Sumbing. Dan lagi lagi dalang dari perjalanan kali ini
adalah Rani. Rani punya mau yang akhir akhir ini selalu punya rencana untuk
menghabiskan akhir pekannya di pegunungan. Begitupun dengan saya (hehe)
Kami memulai perjalanan dari Sukun,
Semarang menggunakan bus. Rani yang malam sebelum berangkat telah memesan tiket
untuk kami semua. Total yang berangkat dari semarang berjumlah 8 orang termasuk
saya. Keesokan harinya mereka telah berkumpul di perwakilan bus untuk menanti
bus yang akan lepas landas. Namun miris, setibanya disana, tiket yang
dipesankan rani buat saya telah dijual kembali oleh kenek bus yang polos. Mau
tidak mau saya terpaksa menyusul mereka menggunakan sepeda motor sendirian. Sedih
rasanya berkendara sendiri menuju wonosobo. Tak ada teman bercerita dan
berkeluh kesah. Sembari menghitung menghitung motor yang saya lewati, akhirnya
tampak dari jalan raya sebuah basecamp yang waktu itu sedang ramai. Terlihat
sebuah papan bertuliskan Basecamp garung.
Tiba terlebih dahulu membuat saya
terlihat seperti pendaki solo. Tak jarang orang orang yang ada disekitar
bertanya pada saya “Sendirian mas?”. Saya hanya mengangguk-anggukan kepala yang
berarti iya atau tidak.
Carrier ku lepas kemudian ku
sandarkan pada dinding yang kosong. Kemudian ada yang menyapaku dengan malu
malu. Mereka adalah sekumpulan Mapala dari fakultas tercinta. Mahapati itulah
mereka. Mahasiswa Pecinta Alam Teknologi Industri Unissula. Sejam kemudian sekitar pukul
09.00 akhirnya Rani dan kawan kawan tiba basecamp. Mereka memecah seperti
sarang semut yang hancur kemudian semut semut bertebaran tak terarah. Ada yang
ke kamar mandi, ada yang duduk tepar, ada yang pesan makanan. Ada juga yang
salin berkenalan karena banyak diantara kami belum saling kenal.
Menunggu 2 orang lagi untuk
melepaskan diri dari basecamp garung. Sejam dua jam tiga jam kita lewati dengan
makan dan berkemas sembari menunggu dua kawan itu tiba. Telepon genggam Rebecca
berdering, ada telepon masuk dan ternyata itu dari teman kita. Padang namanya.
dia berangkat dari Jakarta bersama Apri. Akhirnya mereka tiba dibasecamp
sekitar pukul 17.00 setelah tersesat karena mobil yang ditumpanginya membawa
mereka ke basecamp yang salah.
Lengkaplah kami berjumlah 10 orang,
satu dari kami melakukan registrasi kelompok. Setelah itu kami berkumpul
di depan basecamp untuk berdoa.Tangan kami satukan menjadi satu dibawah tundukan
kepala kami semua. Teriakkan Bismillah
mengawali perjalanan kami,
Dari basecamp menuju pos 1 begitu
sangat menguras tenaga, tak sedikit pendaki yang menggunakan ojek untuk menuju
pos 1. Setelah melewati jalan bebatuan dan kebun kebun selama 2,5 jam akhirnya
kita tiba di pos 1 dengan segala ucap syukur ditambah keluh kesah penuh sesal.
Dari ujung ku dengar sebuah kalimat penyesalan “Kalau tau jauhnya begini,
mending tadi naik ojek” beberapa dari kami tertawa haha. Tak apalah, simpan sesal
itu untuk satu hari kalau nanti kita kesini lagi.
 |
suasana kabut sore hari diperjalanan menuju pos 1 |
Malam mulai menjemput sore, langit
sudah gelap. Beberapa dari kami memesan minuman hangat yang tersedia di pos 1.
Harganya cukup murah. Dibanding harus turun ke basecamp. Di pos 1 ini juga ada
yang mendirikan tenda. Mungkin mereka kelelahan seperti kami dan memutuskan hal
itu. Setelah mencicipi minuman hangat tadi, kami kembali melanjutkan perjalanan
munuju pos 2.
Hujan turun rintik rintik membasahi
bebatuan yang akan kami pijak. Satu persatu jas hujan keluar dari sela sela
carrier kami. Kami berjalan berjejer bak pencari lele di ujung kampung kulon
lengkap dengan senter di kepalanya. Bila satu dari kami ada yang berhenti, maka
kami berhenti semua. Begitulah yang kami lakukan secara berulang ulang hingga
perjalana kami terhenti tepat di pertengahan antara pos 2 dan 3. Disitulah kami
mendirikan tenda.
Tanah yang miring yang kadang
berlubang dan rintik hujan yang makin lama makin sakit rasanya, tidak
menyurutkan semangat kami untuk mendirikan tenda di tanah miring itu. Hujan
semakin keras, acara pasang tenda pun semakin heboh rasanya. Padang yang kali
ini menjadi leader kami seringkali berteriak sana sini memberikan aba aba
kepada kami bak kapten kapal memerintah abk nya. Seru sekali rasanya malam itu.
Badan yang menggigil seakan menjadi gerakan tari baru yang kita ciptakan
sendiri.
Tenda pun terpasang. Walaupun
miring tapi tetap kokoh. Kemudian beberapa dari kami ada yang beradu menjadi
master chef sebelum tidur. Setelah mengisi lambung yang kosong akibat tanah
miring dan rintik hujan yang deras, kami memutuskan untuk beristrahat sebelum
melanjutkan perjalan keesokan harinya.
Pada saat pembagian tempat tidur,
kami berjejer layaknya ikan yang disusun rapi diatas kayu kemudian dilumuri air
dingin. Kami setenda 6 orang. Namun tanah yang miring membuat kita begitu
terlipat. Posisiku waktu itu berada di ujung tenda. Ingin rasanya kaki ini ku
selonjorkan ke bawah. Namun kalau itu kulakukan, maka kaki ku akan menendang
kepala Michael yang ada tepat dibawahku. Serba salah jadinya. Michael yang
sesekali berpesan kepada orang yang ada diatasnya untuk tetap menyelonjorkan
kakinya diatas perutnya. Namun itu tidak kami lakukan karena khawatir kaki kami
bergeser dari perut ke kepala. Akhirnya
malam demi malam kami lalui dengan kaki tertekuk ditanah yang miring kebawah.
Keesokan harinya satu persatu dari
kami keluar dari tenda berharap matahari pagi menghangatkan kami. Sulit rasanya
badan ini digerakan karena posisi tidur yang agak kurang nyaman. Namun itu hal
biasa ketika kita berada di belantaran hutan nan jauh dari peradaban. Saya pun
keluar dari tenda dengan posisi tangan kiri memegang leher bagian belakang,
tangan kanan memegang tulang belakang, sedang kepalaku kupatahkan ke kiri dan
kanan. Setelah sarapan kami bersiap siap untuk melanjutkan perjalanan menuju
puncak, yang berarti summit puncak kali ini dimulai dari Pos 2,5.
 |
Lokasi tanah miring berada diantara pos 2 dan 3, jadi saya menyebutnya pos 2,5 |
Summit kali ini dipimpin oleh Apri,
kawan kita dari Jakarta, orangnya baik, cakep dan humoris. Apri dengan langkah
kaki nya tak kenal lelah membuat dia jauh memimpin didepan bak Lorenzo membuang
rossi. Apri sebagai Lorenzo, menyusul Gita sebagai Rossi, saya dan Rani sebagai Marquez, menyusul dibelakang 6 teman lainnya. Tanjakan demi tanjakan kami
habiskan satu persatu.
 |
Para Pendaki yang diselimuti kabut |
Namun langkah kaki kita yang
terlalu mengidolakan moto gp membuat kita terpisah menjadi dua kelompok. Apri Gita Rani dan saya berada jauh didepan. Sedang Padang, Becca, Punia, Daris, Michael, Igar di belakang. Sedih rasanya, namun kami tetap harus melanjutkan perjalanan.
Namun kali ini ritme langkah kaki, kami kurangi sembari menunggu yang ada
dibelakang. Pada waktu itu saya bertemu dengan seorang kakek yang mendaki bersama anaknya. Sedikit dia bercerita tentang perjalanannya kemudian saya ijin mengambil potret dirinya.
 |
kakek pendaki asal bandung yang saya temui di tanjakan
|
Di tanjakan penyesalan kami sempat
berkumpul kembali selama beberapa saat. Namun naluri moto gp kembali merasuki 3
podium teratas, Apri, Gita, Rani. Dan saya harus mengejar mereka untuk
mempertahankan nilai sementara yang saya raih sembari mengingatkan untuk
menunggu teman yang ada dibelakang.
 |
team kesayangan bersama teman baru lainnya |
Tibalah kami di Pestan. Pos yang selama
ini para pendaki idam idamkan ketika mereka ke Sumbing. Pestan yang selama ini menjadi buah bibir pendaki
pendaki diwarung kopi pinggir kota. Walaupun saya tak tau menau tentang pos ini
dan pos itu. Bagiku semuanya yang ada disini itu indah. Ditambah lagi pendaki pendaki
jaman sekarang juga banyak yang indah indah.
 |
tampak gunung sindoro dari pestan |
 |
pestan yang penuh dengan pendaki |
Dari Pestan kami menuju pasar watu
melewati jalan bebatuan menukik yang cukup menguras tenaga. Satu dua buah
kalimat keluh masing masing kami ucapkan untuk menghiasi perjalanan kami. Belum
sempat kalimat keluh ke tiga keluar, kami pun tiba di Pasar Watu. Tak berlama
lama, kami duduk sejenak kemudian melanjutkan perjalanan ke Watu Kotak, yaitu
pos sebelum puncak buntu.
 |
Apri sedang menaiki podium |
 |
Para pendaki yang sedang menuju pestan dari puncak |
Watu kotak, entah apa artinya.
Pantang bagi seorang seperti saya untuk membaca tentang pos pos yang ada di
gunung yang akan saya daki. Karena itu akan menjadi pengalaman berbeda apabila
saya belum mengetahuinya. Saya percaya bahwa tiap orang memiliki cerita yang
berbeda beda walaupun gunung yang kita daki tidak jauh berbeda.
 |
Pasar watu yang dipenuhi watu watu |
 |
Aksi percobaan bunuh diri dari Rani |
 |
Adegan melankolis cinta segitiga Apri, Gita, Rani |
 |
Apri ketika sendiri selalu teringat sang mantan |
Melewati bebatuan yang menjadi
batas jurang, melewati bebatuan yang makin lama makin aneh bentuknya, makin
besar pula genggaman batu itu. Sedih rasanya kalau harus berjalan sambil
mencium lutut ini. Sempat terbanyangkan jika ada helicopter yang datang
menjemput kita lalu mengantar kita ke puncak. Namun kembali tersadarkan oleh
pendirian seorang pendaki jaman dulu bahwa yang terpenting adalah proses. Dan
hasil takkan menghianati proses. Sesingkat itu namun memiliki arti yang sangat
dalam dan terukir dipikiran saya hingga saat ini.
 |
Samudera awan menyelimuti gunung sindoro |
Bermimpi tentang
sesuatu yang tidak mungkin kadang mampu membawa kita untuk mencapai sesuatu
yang tidak mungkin. Maka tibalah kami di Puncak Buntu.
Rasanya kurang afdol karena tidak
semua dari kami bisa sampai ke puncak. Hanya ada Apri, Gita, Rani dan saya
sendiri. Dalam hati, kekhawatiranku tak karuan mengguncangkan konsentrasiku
untuk mengabadikan momen di puncak waktu itu. Tak lama kemudian kami turun ke
bawah untuk menyusul yang lainnnya.
 |
Empat yang berhasil naik ke podium puncak buntu |
Diperjalanan dari puncak ke pestan
kami bertemu Padang dengan beberapa senter dan headlamp ditangannya. Tentu saja
itu buat kita. Mengingat langit sudah gelap. Padang yang sangat berbaik hati
membawakan kami senter dan headlamp karena takut sesuatu terjadi pada kita.
Sementara yang lainnya menunggu di pasar watu sembari padang membawakan kami
senter dan headlamp.
Adzan maghrib berkumandang
menandakan maghrib tiba. Kami singgah sebentar untuk menyapa pendaki yang
mendirikan tenda disekitar watu kotak. Sebatang dua batang mereka habiskan
sembari menunggu maghrib usai. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju
pasar watu.
Kekhawatiran kembali menghampiri
kala kami tiba di pasar watu dan mendapatkan 5 orang yang seharusnya berada
disitu sudah tidak ada. Yang tersisa hanya selembar kertas bertuliskan
“happy birthday sayang” itu milik daris. Tandanya Daris dan kawan kawan belum jauh dari sini.
Kami mempercepat langkah kami mulai
dari pasar watu menuju pestan. Walaupun gelap, batu pun tak bisa menghalangi
kami. Dia menghadang, kami pun tendang, walaupun beberapa dari kami sering
jatuh, namun teriakkan “semangat” selalu berhasil memulihkan semangat kami.
Alhamdulillah, beberapa ratus meter
sebelum pestan kami teriak menyebut nama daris dan dari kejauhan terdengar teriakan ramai. Itu adalah mereka, daris dan kawan kawan. Kami pun
teriak senang, karena akhirnya kami bisa dipersatukan lagi lengkap ber10.
Malam itu rembulan menemani kisah romantisme 10 anak muda yang mendaki gunung
sumbing pada hari itu. Sisa sisa makanan kami kumpulkan menjadi satu. Kami
habiskan malam bersama di pestan lalu berkemas di pos 2,5. Dan keesokan harinya
kami turun ke basecamp.
 |
Rembulan bersinar lagi menemani malam kami yang melankolis waktu itu |
Kami tiba dibasecamp dengan wajah
gagah kelelahan penuh cerita dikerutan bawah mata kami. Berpuluh puluh senyum
dan monggo kami tebarkan kepada para pendaki yang ada dibasecamp pada saat itu.
Satu persatu piring dengan nasi telur kecap berjejer rapi di hadapan kami. Kami
menyantapnya. Seketika itupun kami tidak peduli dengan apa yang ada disekitar.
Karena rasa lapar sudah terlalu menguasai diri ini.
Terima kasih atas perjalanan yang sangat mengesankan. Tanpa
kalian hidup ini tidak ada artinya. Tanpa saya pun hidup kalian tidak ada
artinya. Kita saling memiliki satu sama lain. Aku ada karena kau ada. See you
next mount.
 |
The Team |
follback mas
BalasHapusudah mas, thx ya
HapusFolback dong mas, keren deh post nya
BalasHapusSaya belum pernah mendaki, sepertinya seru ya. Salam kenal dan tetap semangat ngebloggnya :)
BalasHapus